

Judul : Kepada Apakah (Sebuah Novel)
Penulis : Afrizal Malna
Penerbit : Motion Publishing, Jakarta.
Tangggal Terbit : 14 Februari 2014
Jumlah Halaman : viii + 302 halaman
Membaca Novel “Kepada Apakah” karya Afrizal Malna seperti sedang melakukan tamasya ke dalam pikiran. Bagaimana tidak? Judul novelnya saja sudah mengandung frasa yang “tak lazim”. Kata “kepada”, yang dalam bahasa Indonesia mengandung makna “kata depan untuk menandai tujuan orang”, dan “apakah” yang merupakan sebuah kata tanya dijadikan satu frasa. Cobalah Anda bayangkan: sebuah kata yang berfungsi sebagai petunjuk dikawinkan dengan sebuah kata tanya: Kepada Apakah. Dan, tanpa disertai tanda tanya. Dari judul novel ini saja sudah mengundang telaah mendalam dan menyisihkan beragam pertanyaan.
Memasuki halaman-halaman awal, Afrizal langsung penyajikan sebuah situasi yang unik. Seorang mahasiswa filsafat, yang pada halaman-halaman berikut diketahui berama Ram, mengikuti ujian di kampusnya.
Dari tempat yang dipilih sebagai latar belakang ceritera, setidaknya bagi saya, sudah bisa membayangkan tempat dan suasana itu. Namun, bagi mahasiswa atau orang yang tidak pernah mengalami dunia seperti itu akan merasa kesulitan menemukan celah untuk masuk dalam cerita yang sedang di bangun.
Apalagi, di halaman 3 (halaman pembuka) diceritakan: “Pertanyaan ujian lisan dari dosenku, serorang keturunan Jerman yang merasa lebih sebagai serong Jawa daripada seroang Jerman.” Dari gambaran sosok dosen ini, saya sungguh familiar dengannya. Namun, karena Afrizal tak menyebut namanya secara terbuka, maka saya pun tak hendak menyebutnya di sini.
Dalam kisah-kisah selanjutnya, bahkan sepanjang novel ini, tersebut nama-nama yang tidak asing di kalangan seniman dan sastrawan. Tanpa samaran, mereka disebut secara gamblang, termasuk karya-karya yang dihasilkan. Tapi, celakanya, di awal novel, Afrizal memberi catatan: “Nama-nama tokoh yang kutulis dalan novel ini bukanlah nama siapa pun yang bisa diandaikan di luar Novel. Maafkanlah, untuk membiarkan mereka hidup sebagai pribadi-pribadi yang lain, dan mengambil memori novel sebagai jalannya.”
Dalam hemat saya, catatan ini membingungkan. Pembaca dihadapkan pada pilihan mempercayai ketokohan yang dibangun di novel sesuai dengan nama tokohnya yang adalah kenyataan atau mempercayai sosok kenyataan tanpa terpengaruh dengan ketokohan yang dinarasikan dalam novel. Memang, banyak orang mengatakan, novel itu karya fiksi. Tapi, di sisi lain, fiksi seringkali berjabat tangan dengan kenyataan.
Daftar isi
Mengejar Pikiran Ram
Meninggalkan catatan awal ini, saya hendak menelisik isi novel “Kepada Apakah”. Menurut saya, membaca novel ini serupa mengejar pikiran sosok Ram. Mengapa demikian? Ram adalah sosok yang digambarkan sebagai orang yang tak pernah berhenti mempertanyakan apa yang ada di sekitarnya. Bahkan, ia sendiri mempertanyakan pikiran yang sedang ia pikirkan. Seiring dengan itu, ia mengemban satu misi, ingin memecahkan pertanyaan yang ia peroleh dari dosennya saat ujian, “Kepada Apakah”.
Berto Tukan, dalam resensinya di Jawa Pos, 27 April 2014, dengan judul: “Membaca Tiga Tipe Manusia Afrizal Malna” menyebutkan bahwa sosok Ram yang diceritakan Afrizal dalam novelnya adalah ciri manusia modern yang merujuk pada kredo Rene Descartes “Cogito Ergo Sum” (aku berpikir maka aku ada).
Saya hendak memberi sedikit catatan di sini. Sosok Ram adalah pribadi yang bergerak di lajur filsafat. Artinya, Ram adalah sosok yang benar-benar memikirkan dan mempertimbangkan apa yang terjadi di belakangnya, apa yang sedang terjadi di sekitarnya, dan berasumsi akan apa yang terjadi di hari esok. Ia mempertanyakan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Di tataran inilah kredo “Cogoto Ergo Sum” mendapatkan maknanya.
Namun, bila sosok Ram ditempatkan sebagai ciri manusia modern pada umumnya, saya menjadi sangat ragu. Mengapa? Ciri manusia modern saat ini adalah ciri instan. Tak perlu berpikir pajang, karena kapitalisme menawarkan beragam kemungkinan yang serba cepat. Kapitalisme, mau atau tidak toh kita akan selalu terjun ke dalamnya, selalu mempersempit ruang dan mempersingkat ketukan waktu untuk berpikir. Tak memutuskan hari ini sama saja dengan membuang kesempatan yang tak pernah kembali. Sementara Ram dalam pikiran Afrizal, adalah Ram yang mempertimbangkan untung-rugi, kalah menang, dan antonisme sejenisnya. Misalnya, saat ia berama seorang teman wanitanya, Wulung. Ia berpacaran, bahkan sudah “tidur” dengan wanita itu, tapi selalu berpikir ulang ketika ditawari untuk menikah.
Nah, di sinilah yang salah satu tawaran yang tersurat dalam sosok Ram. Ram hadir serupa sosok dengan bermiliar-miliar pikiran dan pencarian akan peratanyaan “Kepada Apakah” sehingga apapun yang ada di sekitarnya selalu hadir sebagai pertanyaan. Maka, bagi saya, membaca novel ini sebenarnya adalah mengejar pikiran dan pencarian Ram dalam pikiran Afrizal.
Berbelit-belit
Seperti yang saya katakan di awal tadi bahwa Afrizal menceritakan sosok Ram dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus membelitnya, seolah tak memberinya ruang untuk sejenak rehat dari pikirannya sendiri. Di sepanjang halaman-halaman novel ini bertebaran pertanyaan Ram atas dirinya, objek yang dipikirkan, objek yang dilihat, dan pertanyaan yang diajukan. Bayangkan saja, seorang Ram bertanya tentang pertanyaan yang diajukan, bertanya tentang pikiran yang sedang ia pikirkan.
Segala sesuatu seolah dilemparkan keluar dari pikiran dan tubuhnya, kemudian dipertanyakan. Mereka seolah saling berhadapan, dan Ram berusaha mempertanyakan mengapa ia begitu, mengapa ia begini. Hal itu bisa saja kita temukan dalam penggalan kalimat ini “Keinginan untuk mengetahui, hanya menghasilkan sebuah perjalanan untuk meragukan diri sendiri (hal. 132-133). Atau, kisah tentang kunjungannya (Ram) ke makam salah satu sahabatnya, Bambang. Di situ Ram memberi gambaran: “Sementara Bambang duduk di atas makamnya sendiri, sambil menyandarkan punggungnya ke batu nisan. Ia menyalakan rokok kretek yang tadi aku berikan untuknya, mengisapnya dengan leher yang tampaknya semakin terbenam dalam bahunya yang lebar, gemuk, dan keras. Ia memandang ke langit yang mulai senja.”
Bagaimana mungkin Bambang yang ada dalam makam itu bisa merokok dan memandang langit yang mulai senja? (hal. 155). Inilah alasan mengapa saya berasumsi bahwa membaca novel “kepada apakah” adalah mengejar pikiran-pikiran Ram, dalam pikiran Afrizal Malna.
Lantas, apakah Ram akhirnya menemukan jawab atas pertanyaan “Kepada Apakah”? Bagi saya, bukan halaman terkahir yang layak pembaca cari untuk menemukan jawaban atas frasa “Kepada Apakah”, melainkan bagaimana menemukan celah-celah yang memberi jawaban atas frasa “Kepada Apakah” dalam pikiran-pikiran Ram. Maka, kejarlah pikiran-pikiran Ram bukan di halaman akhri novel, tetapi kejarlah dengan mempertanyakan apa saja yang sudah, sekarang, dan akan ada di sekitar Anda.