Ditulis.ID – Di awal era ke-13 belum dikenali istilah Apoteker atau Pharmacist. Yang ada cuman seorang Pengobat (healer, shaman, dukun, tabib, sinshe dll.) Yang mengecek penyakit pasien selanjutnya memberinya obat yang dibutuhkan. Praktik seperti ini bukanlah asing di negara kita malah masih banyak.
Sejauh ini kebanyakan masyarakat hanya menganggap seorang apoteker adalah pembuat obat yang telah diresepkan oleh dokter, padahal seorang apoteker memiliki tugas dan fungsi lebih luas
Di Eropa praktik semacam ini dituruti dengan jeli hingga diketemukan jika ini lebih banyak bikin rugi pasien karena tidak ada check and balance Karena perubahan di bagian obat selanjutnya benar-benar cepat, diakui jika seseorang tidak bisa kuasai semua pengetahuan. Karena itu di tahun 1240 di negara Kerajaan Sicilia untuk pertamanya kali dikeluarkan undang-undang yang pisahkan tugas Dokter dan Apoteker. Dokter cuman bisa mengecek pasien dan menulis resep tapi obat dibikin dan diberikan oleh Apoteker. Selanjutnya pada tahun 1407 susul Pharmacist’s Kode of Genoa di mana dipastikan jika seorang Apoteker jangan bekerja bersama dengan Dokter.
Daftar Isi
Perkembangan Apotek di Negara Maju
untuk Obat Keras ( obat narkotika, psikotropika dan obat yang lain cuman bisa diberikan atas resep Dokter).Dan sama dalam Praktik Dokter berlaku layanan no Pharmacist no Service. Maka kedatangan seorang Apoteker atau Pharmacist mutlak diperlukan untuk Apotek bisa layani pasien. Karenanya, selainnya dengan aktif memantau penggunaan obat keras, kedatangan seorang Apoteker dapat memberinya servis:
- Konsultasi untuk pengobatan sendiri.
- Konsultasi mengenai obat yang diterima dari dokter.
- Pengawasan pemakaian obat agar dilakukan sesuai permintaan Dokter.
- Monitoring khasiat dan efek samping obat.
- Pengawasan mutu obat yang beredar dan cara-cara penyimpanannya.
- Pendampingan atau screening pasien diabetes, hipertensi, kolesterol, pemakai KB, dll.
- Promosikan cara-cara hidup yang sehat.
Badan dunia WHO dalam tatap muka di Vancouver 1997 memakai istilah 7 Star Pharmacist untuk mengatakan fungsi dan tanggung-jawab seorang Apoteker yang berkualitas (saksikan Annex WHO Consultative Grup on Preparing Future Pharmacist).Pada tahun 1999 dalam Technical Report Seri no.885 Annex 7 badan dunia ini juga keluarkan Good Pharmacy Practice In Community And Hospital Pharmacy Settings yang sebetulnya telah dipungut oleh beberapa negara maju semenjak tahun 1993.
Perkembangan Apotek di Indonesia
Meskipun telah semenjak tahun 1963 Ketentuan Pemerintahan mewajibkan Apoteker berkreasi di Apotek, agar Apotek jadi Pusat Info dan Pantauan Obat, sayang hingga saat ini tidak terwujud. Malah cuaca deregulasi yang lima tahun paling akhir merasuki semua sektor terhitung distribusi obat sudah memporak-porandakan dunia Apotek.
Terjadi salah pemahaman jika untuk turunkan harga obat memerlukan kompetisi yang sebebas-bebasnya tanpa diakui jika di bagian obat pasien tidak berkualifikasi untuk memandang kualitas obat di luar hingga bisa terjadi banyak pemalsuan dan dusta. Dan berikut yang benar-benar terjadi sejauh ini dengan munculnya banyak obat palsu, obat import gelap dan oleh Apotek yang tidak bertanggungjawab obat kombinasi didalamnya obat murah tapi harga obat mahal.
Sebetulnya Pemerintahan telah arif karena keluarkan obat generik yang murah untuk warga tidak sanggup atau ingin turunkan ongkos penyembuhannya. Sayang karena kerap diakali beberapa pasien tidak berani tukar obat (dicatat pada resep jangan ditukar tanpa kesepakatan) dan malah pada akhirnya telah dicuci otak jika obat generik atau obat keluaran pabrik yang lain tambah murah tidak bagus/kelak tidak pulih. Walau sebenarnya dengan mendapatkan kesepakatan B.P.O.M lewat No Register kualitas obat sudah seharusnya terjaga.
Badan dunia WHO dalam pertemuan di Vancouver 1997 menggunakan istilah 7 Star Pharmacist untuk menyatakan peran dan tanggung jawab seorang Apoteker yang bermutu
Warga tidak pahami essensi Apotek dan lupa akan ada figur Apoteker hingga Apotek dr.X atau Apotek ada pada tempat praktik dokter yang sekalian pemiliknya tidak dipandang seperti satu pelanggaran, malah sebagai satu keuntungan. Malah sebagian besar Apotek yang ingin bertahan mau tak mau membuka praktik dokter disampingnya supaya bisa memperoleh resep yang cukup dan banyak Apoteker “boss“-nya Dokter.
Penulis pernah menyaksikan di Swiss sebuah Apotek (Pharmacia Dr.. Y) dan karena menduga jika itu punya dokter, kami menanyakan, rupanya Dr. Y itu seorang Dottore Pharmacia, jadi bukan Dokter. Karena figur Apoteker tidak dikenali/telah dilalaikan warga, karena tak pernah berperanan, karena tak pernah dicari, karena itu banyak Apoteker telah senang jika cuman namanya tercantum pada papan Apotek.
Alangkah berlainan dengan karier dokter yang tak pernah memberikan tanggung jawabannya ke Mantri atau perawatnya. Di dunia kebidanan, saya dengar narasi jika specialist kebidanan tidak biarkan seorang ibu melahirkan tanpa hadirnya, hingga jika ibu “apes” diminta meredam dahulu jika dokternya belum datang.
Harga Obat di Apotek versus Toko Obat Herbal
Agar bisa jawab pertanyaan yang tertera sebagai judul artikel ini tidak komplet seandainya kita tidak mengulas berkenaan harga yang kerap disoroti oleh beragam faksi, khususnya pasien. Sebetulnya untuk memperbandingkan harga Apotek dan Toko Obat Herbal tidak fair, karena alasan-alasan berikut :
- Investasi untuk pendirian Apotek sesuai persyaratan pemerintah jauh lebih tinggi dari Toko Obat.
- Biaya operasional Apotek : biaya gaji, telepon-listrik-air, Pengantar obat, obat kadaluarsa-tidak laku, dan pajak banyak tidak diperlukan Toko Obat.
- Semua obat yang dibeli melalui jalur resmi sudah dikenakan PPN 10% karena semua Apotek sudah terdaftar di kantor pajak.
- Obat yang dijual di Apotek dibeli melalui saluran resmi bukan impor gelap, tetapi mutunya terjamin.
Penentuan Harga di Apotek
Dalam tentukan harga biasanya apotek ambil dasar 1,3 harga membeli. ini memiliki arti 0,23 x nilai jual. jadi untuk resep harga 100.000,- Apotek mendapat 23.000,- Untuk obat yang mahal, banyak Apotek tinggal ambil 0,17 x nilai jual . Maka untuk harga obat 300.000,- Apotek dapatkan 51.000,-
Walau sebenarnya banyak resep yang harga di bawah 20.000 yang mana Apotek cuman mendapatkan 4.600,- atau mungkin kurang. Sedangakan tidak lagi ada dokter praktik individu di mana pasien bayar 5.000,- terkecuali Poliklinik RS.
Sementara di negara maju ada “Profesional fee” sama dengan dokter dan tiap resep dikenai 25 gulden untuk belanda (entahlah saat ini berapakah Euro). Ingat jurang di antara kaya dan miskin yang demikian lebar, langkah saat ini telah baik, karena yang kaya dapat mendukung yang miskin denghan persyaratan jika tidak sanggup gunakanlah obat generik.